PERTANAHAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

PERTANAHAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan keistimewaan yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi:
1.      tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil       gubernur;
2.      kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
3.      kebudayaan;
4.      pertanahan;
5.      tata ruang.

BAGAIMANA SEJARAH PERTANAHAN DI YOGYAKARYA?
Karena besarnya kepercayaan para pengikut setianya, maka pengaturan mengenai tanah dan seisinya dipercayakan kepada Sultan sebagai Kagungan Dalem Noto. Atas kepercayaan tersebut, selanjutnya Sultan menjalankan kewenangan atas tanah berupa: mengatur penggunaan tanah untuk keberadan kraton serta pendukunganya, di samping memberikan hak-hak untuk memanfaatkan tanah, antara lain kepada:
a.      Keluarga/Sentono (misalnya: hak milik, hak pakai)
b.      Kawulo/Rakyat (misalnya: hak milik, hak pakai, hak anggarap)
c.       Orang dan lembaga asing (hak eigendom, hak opstal, hak pakai, pinjam, sewa).
Untuk mengurangi beban warga masyarakat dengan masuknya perusahaan pertanian asing, diadakan reorganisasi dengan dikeluarkan Rijkblad (RB) Kasultanan Yogyakarta 1918/16 dan RB Kadipaten Pakualaman 1918/18 pasal 1-nya yang berisi tentang "Sakabehing bumi kang ora ono tondho yektine kadarbe ing liyan mowo wewenang eigendom, dadi bumi kagungane Kraton Ingsun" atau "Semua tanah yang tidak ada tanda kepemilikan orang lain maupun wewenang eigendom, adalah milik Sultan". (Suyitno pada tabloid Land, 2007)
Selanjutnya setelah seluruh tanah selain yang dilekati dengan hak eigendom dinyatakan menjadi hak milik kraton, di antaranya diserahkan kepada:
a. Warga masyarakat di pedesaan (luar Kotapraja) diberikan hak anganggo turun temurun.
b. Kelurahan yang kemudian dibentuk, diberikan hak andarbe atau disebut tanah desa, yang penggunaannya sebagai:
     1.      Tanah kas desa, hasilnya digunakan administrasi kegiatan kelurahan;
     2.      Tanah bengkok/lungguh, untuk penghasilan perangkat/pamong kelurahan;
     3.      Tanah pangerem-arem, untuk penghasilan mantan perangkat/pamong kelurahan;
   4.   Tanah desa untuk kepentingan umum, misalnya jalan, lapangan, dsb. (Catatan: Selain tanah sawah tegalan tersebut yang berupa tanah liar yang kosong berupa hutan belukar, tidak diserahkan sebagai hak andarbe kelurahan, akan tetapi merupakan tanah domain bebas dari Raja Kasultanan Yogyakarta-Kadipaten Paku Alaman.)
c. Warga masyarakat di Kotapraja, berdasarkan RB kasultanan Yogyakarta 1925/23 dan RB Kadipaten Paku Alaman 1925/25, diberikan hak andarbe. Dengan tidak adanya reaksi dari pemerintah Hindia Belanda terhadap hal-hal tersebut diatas, kiranya menunjukkan pengakuan terhadap kepemilikan Kasultanan Yogyakarta-Kadipaten Paku Alaman atas tanahtanah di wilayahnya. Dengan ditandatanganinya Kontrak Politik antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Dr. Lucien Adam pada 18 Maret 1940, dengan pasal 39 ayat (1) dan pasal 40 ayat (1) serta pasal 41 yang masih memberikan kewenangan kepada Kasultanan untuk memberikan hak-hak atas tanah dan jika ada tanah diperlukan untuk negara (Pemerintah Hindia Belanda) juga diberikan ganti rugi, hal ini dapat diartikan pula bahwa Pemerintahan Hindia Belanda tetap mengakui kepemilikan Kasultanan Yogyakarta atas tanah tanahnya.
Jadi pada awal mulanya, Yogyakarta adalah daerah swapraja. Diktum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional pada huruf a mengatakan, hak dan wewenang dari swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan huruf a diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Tapi sampai tahun 2015, peraturan pemerintah itu belum dibuat. Karena itulah UUPA di Yogyakarta belum dilaksanakan sepenuhnya. Yang diberlakukan hanya sebatas tanah hak yang diatur berdasarkan hukum Barat.
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Rakyat hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2 Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga berlaku di Yogyakarta.
Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari), terlebih dahulu harus meinta izin kepada Paniti Kismo. Paniti Kismo merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemkab walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut.
Untuk tanah keraton yang telah bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria yang berlaku, permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan UUPA serta ketentuan lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang berlaku mengenai tanah di DIY masih bersifat dualisme.
Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak keraton karena telah ada alas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak perlu izin penggunaan lahan seperti megarsari kepada Paniti Kismo. Namun jika ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) dan harus ada persetujuan dari Penghageng Wahono Sarto Kriyo untuk kawasan Kraton maupun tanah milik Kraton.

BAGAIMANA TANAH DI YOGYAKARTA SEKARANG?
            Pihak Keraton telah mengadakan inventarisasi pada ±2.168 bidang tanah yang diklaim sebagai tanah Kesultanan yang berada di Yogyakarta dan sekitarnya. Inventarisasi ini berdasarkan peta asli tahun 1838. Dari jumlah itu yang terbanyak di Kabupaten Bantul, yakni 1.367 bidang. Kemudian disusul 300 bidang di Gunungkidul, 174 bidang di Kulonprogo, 252 bidang di Sleman, dan 75 bidang di Kota Yogyakarta. Kemudian Pemda DIY berhasil menginventarisasi tanah pada 2014 sebanyak 744 bidang. Rinciannya 166 bidang di Kota Yogyakarta, 471 bidang di Bantul, 216 bidang di Kulonprogo, 54 bidang di Gunungkidul, dan 137 bidang di Sleman.
Namun, sekarang ini masyarakat atau institusi boleh mengajukan keberatan terkait hasil inventarisasi, identifikasi dan verifikasi tanah Kasultanan dan Kadipatena. Aturan itu tertuang dalam Perdais pengelolaan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang telah disahkan pada Desember 2016 lalu.
Sedangkan Tanah Keraton yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.


HAL APA YANG BISA DISOROTI DARI UU NO 13 TAHUN 2012 MENGENAI PENGADAAN PERUMAHAN?
Angka backlog perumahan di Yogyakarta menunjukkan masih diatas angka 220.00 berdasarkan Data Backlog Kepemilikan Rumah dari Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (http://ppdpp.id/data-backlog/). Dengan kondisi UMP Yogyakarta tahun 2017 yang merupakan UMP terendah di Indonesia yaitu Rp1.337.645 dan harga tanah yang semakin naik, angka backlog ini cukup sulit diberantas jika tidak ada campur tangan dari pemerintah. Sedangkan sebenarnya tanah kosong di Yogyakarta masih sangat luas, termasuk juga tanah kosong milih keraton.
Jika melihat dari adanya UUK DIY, campur tangan pemerintah daerah bisa melalui penyediaan tanah murah atau hunian vertikal pada tanah milik keraton. Tujuan Keistimewaan DIY sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 UU 13/2012 ayat (1) huruf b tentang Keistimewaan DIY adalah “untuk mensejahterakan dan ketentraman masyarakat”. Artinya kesejahteraan dan ketentraman merupakan hak masyarakat Yogyakarta berdasarkan Keistimewaann DIY. Oleh karena itu, Keistimewaan DIY juga harus bisa memberikan solusi alternatif terhadap Hak atas Perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk kaum buruh. 
Berdasarkan Pasal 32 ayat (5) UUK DIY yang berbunyi “Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.”
Dari pasal ini, sangat mungkin bagi Pemda DIY untuk berkerjasama dengan Kasultanan dan Kadipaten dapat menggunakan tanah-tanah Kasultanan dan Kadipaten untuk dijadikan kawasan perumahan atau rumah susun kemudian didistribusikan kepada buruh dan keluarganya yang belum mempunyai rumah.
Hal tersebut semakin diperkuat pasca disahkannya Perdais tentang Pengelolaan dan Pemanfaatann Tanah Kasultanan dan Kadipaten, maka Pemda DIY memiliki instrumen hukum untuk menjadikan sebagian tanah SG dan PAG dijadikan kawasan perumahan atau rumah susun bagi buruh. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf  o tersebut, di mana tanah SG dan PAG dapat dilepaskan untuk kepentinggan umum, dan pengadaan tanah untuk perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah termasuk dalam kepentingan umum.
Jika hal tersebut dilakukan, berarti tanah-tanah yang dimiliki Kasultanan dan Kadipaten dimanfaatkann untuk mewujudkan Yogya yang Istimewa dimana Pemda DIY dapat melindungi dan menjamin Hak atas Perumahan bagi masyarakat Yogyakarta.

Komentar